PERUTUSAN: PANGGILAN ITU MENJADI NYATA


    Pra Missale Cannonica
    Pada mulanya berjumlah genap, 24 seminaris, cater pastoral … Angkatan Aloysius Gonzaga
    25 Juli 2011 – Kami tahu di mana
Situasi kelas mahkota yang baru dengan berbagai kenyataan dan rekan-rekan  baru, yang dulu terpisah menjadi tiga jurusan; IPA, IPS dan Kelas Persiapan Atas kini menjadi satu komunitas, komunitas muda rasuli, frater pastoral.
 Pembacaan tugas pastoral, di mana pun aku ditugaskan, aku akan selalu siap, hanya satu yang ada di dalam benakku, aku adalah misionaris, di manapun aku berada aku akan selalu bersiap untuk diriku dan semua orang yang akan kulayani, ”ini aku Tuhan, utuslah aku”.
Aku yang diam, menggunakan mataku untuk menembus sebuah kaca lebar yang terpasang di sebuah pintu berwarna kuning, menyaksikan sebuah penantian akan tugas dan tanggung jawabku. Ia yang menjadi orang tua kami di sini, ia yang menjadi guru bagi kami, ia yang membuat kami menjadi seperti ini dan ia yang akan memberikan tugas-tanggung jawab kami berpastoral di stasi, nantinya.
Semua hening terhenyak dalam penantian, rasa hati yang bergetar dan menderau dari dalam hati kami menantikan pembacaan satu-persatu di mana kami harus bertugas sepenuhnya. 24 stasi, 3 paroki, 9 sekolah, itu pada mulanya. Namun, hanya berselang 3 hari seorang diantara kami harus mundur. Ia yang terkasih, Yohanes Priyo Santoso.
Sebuah pertanda dari pepatah latin non multa sed multum nyata bagi kami. Bukannya merendahkan, namun ini menjadi misteri panggilan bagi aku dan juga kami di seminari. Sejenak terpikirkan akan pandangan angkatan ini di masa depan sebelum testimonium.

PATUT KITA MERENUNG
Hal Hidup Membiara
Menjadi Seorang Saksi dan Pelayan

    Saksi dan pelayan, sebuah pekerjaan yang diemban dalam hidup manusia di dunia ini, terlebih mereka/kami yang hidup dalam biara. Hidup di dunia ini hanya sementara saja. Pepatah jawa mengatahan, “Urip iku mung mampir ngombe”. Oleh sebab itu haruslah kita ingat secara terus menerus bahwa kita di dunia ini adalah sebagai seorang buangan dan perantau yang diberi tugas sebagai saksi dan pelayan, yang menjadi rendah demi sesame, namun ditinggikan dalam nama Ia yang akan datang menyelamatkan kita. Jika kita mengenal seorang biarawan maupun biarawati, entah itu terdidik maupun terlatih, klerus dan non klerus, semua sama, “Kita harus menjadi orang bodoh oleh sebab Kristus” (1 Kor 4:10).
    Orang yang siap untuk diutus harus hidup untuk mengabdi, bukan untuk memerintah. Perlu kita sadari, bahwa hidup dengan salib Kristus ini kita dipanggil untuk bekerja dengan segiat-giatnya untuk Allah yang hidup “Zelo zelatus pro Domino Deo Exercituum”.
    Mulai dari saat inilah juwa seorang manusia sebagai seorang pengikut Kristus diuji dan dipertangguh, laksana emas dalam perapian. Hanya mereka yang dengan segenap hatinya menjadi rendah diri oleh karena melayani Tuhan dapat bertahan hingga akhir hidupnya, entah bagaimanapun ia akan disiksa dan dianiaya dalam hidupnya, seperti seorang martir yang rela mati dan menjadi rendah demi nama Tuhan Allah.


INILAH YANG HARUS KUJAWAB
1.    Panggilan Tuhan itu nyata dan diam di dalam diri kita, Ia menunggu kita untuk menanggapi panggilanNya,
a.    Kerapkali kita tidak menyadari bagaimana perjalanan hidup kita di dunia ini sebagai bagian dari anugerah Allah yang sangat agung, di mana tidak setiap orang memiliki hal yang sama dengan kita. Kita mengabaikan panggilanNya dan tetap pada ketegaran hati kita untuk menikmati segala hal yang ada di dunia ini sebebas-bebasnya, dengan sebuah semboyan,”selagi kita masih hidup, baiklah kita bersenang-senang sebelum kita mati”. Kita tak tahu kapan kita mati, namun perlu kita sadari bahwa hari kematian kita datang setiap saat, kapanpun dan dimanapun. Oleh sebab itu perlu kita persiapkan dalam hidup kita sehari-hari untuk menjadi semakin rendah bagi orang lain, namun demi kemuliaan Allah yang lebih besar – Ad maiorem Dei Gloriam.
b.    Mungkin kita mendengarnya, menyadari dan mengetahui bahwa kita dipanggil, namun apakah kita siap dan bersedia untuk semua itu? Kita sering memikirkan banyak hal, pekerjaan, karir, sekolah, anak-anak, makanan, hiburan dan lain sebagainya. Namun, waktu 2 jam untuk Tuhan dalam seminggu saja sering kita abaikan, kita lalaikan demi kesenangan maupun hiburan. Seringkali dalam hati kita berkata,”Masih ada besok atau minggu depan untuk berdoa (perayaan ekaristi),” Seperti yang tertulis di atas, bahwa kita tak tahu kapan kita dipanggil, maka hendaklah kita sadar diri dan melihat bahwa hari ini adalah hari yang terakhir bagi kita, yang harus kita persembahkan dengan maksima demi Allah kita yang hidup. Dengan mendengar, menyadari dan mengetahui saja tidaklah cukup untuk menanggapi panggilan Tuhan, kita perlu merendahkan diri dan bekerja menjadi pelayan bagi sesama untuk Tuhan – servus servorum Dei.
c.    Kita menanggapinya dan kita melakukannya. Panggilan Tuhan memang menjadi sebuah pekerjaan dan karya yang berguna bagi kita. Segala hal yang dilakukan memang terlihat sebagai pelayanan, jika diamati dari luar. Mengapa dikatakan dari luar? Hati, hati yang bersih mewujudkan kasih yang nyata. Orang yang mempunyai hati nurani yang bersih, akan mampu menahan banyak penderitaan yang diterimanya, dan dalam menghadapi penderiataannya ini ia akan merasakan bahagia, bahagia karena yang dibawanya adalah salib – sumber kegembiraan. Oleh sebab itu saudaraku, mampukanlah diri kita agar mampu menjadi suatu kesatuan yang terintegrasi dari dalam hati, pikiran, perkataan dan perbuatan yang mencerminkan diri sebagai pengikut Kristus yang setia, demi Allah yang kita agungkan dan kita layani. Dialah Tuhan kita, kini dan sepanjang masa. Amin.